DROPDOWN

Minggu, 02 Maret 2014

Cerpen Sungging Raga ,"Senja di Taman Ewood".

SATU

Akan selalu ada wanita-wanita yang menangis kala menikmati senja di taman ini. Dan mereka tak butuh alasan untuk melakukannya, menitikkan air mata ketika cahaya merah terlihat dari hamparan penuh rerumputan, pohon-pohon, dan sebuah danau kecil di taman Ewood, di sudut kota Blackburn. Waktu-waktu berjalan, malam, pagi, siang, sore, dan tentu saja, senja. Aku juga akan membagi cerita ini menjadi lima bagian sebagaimana waktu, karena di antara wanita-wanita yang menangis itu aku akan melihatmu, duduk bersandar di bangku tepi danau, dengan pakaian yang paling kusut dan mata yang paling sendu, menatap kosong pada titik cakrawala tempat terbenamnya matahari. Semua wanita di taman Ewood mengenalmu, wanita tanpa nama yang tak pernah absen menikmati jatuhnya matahari kemerah-merahan menuju pekat yang menyambar-nyambar, wanita yang tak henti-hentinya meneteskan air mata di antara kerikil dan rerumputan.
Kamu pasti datang dengan kemeja putih itu, ditambah syal merah muda melingkar di leher, dan rok panjang ala gadis Eropa pada umumnya. Kamu datang jauh sebelum wanita-wanita itu hadir bersama pasangannya, lebih dulu menemani kicau burung dan kepak sayap kupu-kupu di hamparan bunga-bunga, terkadang kamu memetiknya, dan melemparkannya pada ikan-ikan yang mengiranya sebagai umpan, atau menemani sepasang angsa yang tak jemu mengelilingi danau, kamu pasti membayangkan kita seperti mereka, hidup bersama dengan bebas, menikmati ketenangan, menjadi bagian keindahan di mata setiap orang.
Aku masih ingat ketika membawamu ke taman Ewood untuk pertama kali. Jangan pernah lupakan bagaimana perkenalan kita, pertemuan di satu titik rapuh. Ketika itu kamu adalah wanita ahli kata-kata yang selalu merangkai cerita tentang senja. Sedangkan kualitas tulisanku berada tepat di garis kemiskinan sastra. Kita bertemu dalam ruang maya, menjalin cerita yang hampir membosankan jika dituliskan di majalah-majalah anak muda.
”Aku suka senja, apalagi jika melihat burung-burung terbang ke arah barat, seakan-akan rumah mereka adalah senja.”
”Tetapi, aku tidak begitu mengerti senja. Bagiku tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-sisa cahaya siang dan datangnya potongan-potongan malam.”
”Apa kamu tidak pernah bermain di pantai ketika sore hari? Ketika kamu lihat langit menggaris merah dan beberapa perahu berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti sangat dekat dengan garis dunia itu. Seakan bersandar pada cahaya senja.”
”Tidak, aku hanya tahu pantai yang panas, dan sore hari aku pulang untuk beristirahat.”
”Jadi, kamu tidak pernah melihat senja?”
”Aku bisa melihatnya dari foto-foto.”
”Foto-foto tidak hidup, semuanya diam, seperti dunia tanpa waktu.”
”Kalau begitu berikan aku video yang merekam senja.”
”Tidak. Aku tidak punya. Aku saja jarang menikmati senja yang utuh. Kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali, bahkan sering tidak sama sekali.”
”Lalu, di mana kamu bisa melihat senja yang utuh?”
”Aku hanya melihatnya ketika pulang ke rumah orangtuaku di desa Yorkshire, di London Utara. Di sana ada bukit luas yang jarak pandangnya sampai ke pantai, dan ketika sore tidak akan ada yang menghalangi pemandangan terbenamnya matahari, termasuk senja itu.”
Kemudian segalanya hening.
”Kalau begitu, aku akan membawamu ke suatu tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari.”
”Apa? Bukankah tadi kamu bilang tidak pernah melihat senja?”
”Aku berbohong.”

DUA

Senja memang barang langka di kota Blackburn. Gedung-gedung bertingkat dengan lampu merkuri telah mengalahkan sisa cahaya setelah tenggelamnya matahari. Belum lagi lampu kota menyinari jalanan di mana mobil-mobil berkejaran dengan waktu. Orang-orang di sini tak begitu peduli apakah matahari telah tenggelam atau bahkan terbit dari arah tenggelamnya. Becerita tentang senja hanya lelucon di kantin dan taman bermain anak-anak. Tetapi, tidak bagi kamu yang baru tinggal di kota ini. Sejak masuk ke University of Central Lancashire setahun yang lalu, kamu seperti kehilangan nyawa dalam tulisan-tulisanmu.
”Ke mana kita pergi?”
”Ya seperti janjiku. Melihat senja.”
”Jangan bercanda, di kota seperti ini mana ada tempat untuk melihat senja.”
”Kalau begitu biarkan aku bercanda, aku akan membawamu ke daerah Ewood, sedikit terpencil, tetapi aku pernah sampai ke sana sewaktu berkeliling kota Blackburn. Dan aku sampai di tempat itu menjelang terbenamnya matahari. Mungkin itu senja yang kamu maksud.”
Mobil melaju kencang, jalanan semakin sepi, hanya kompleks perumahan yang berdempetan. Setelah sekitar satu jam perjalanan meninggalkan hiruk-pikuk kota, kita sampai juga di taman Ewood, tepat menjelang malam. Aku sudah mengaturnya.
”Gila! Ini benar-benar senja!” Kau berteriak kegirangan, menatap langit merah sedikit keemasan itu seolah tak berkedip, sementara sekeliling taman hanya berupa rerumputan, pohon, bunga-bunga, dan danau, ”Tetapi, mengapa sepi sekali? Apa tidak ada yang tertarik dengan pemandangan senja?”
”Setiap orang lelap dalam kesibukannya, tidak ada waktu untuk datang dan melihat yang seperti ini.” aku menjawab. Memang, seperti tak ada kehidupan di taman Ewood kecuali sebuah rumah mungil di dekat jalan raya tempatku memarkir mobil, bisa jadi penghuni rumah itulah yang merawat taman ini. Seorang kakek dan ketiga cucunya yang kecil-kecil. Mereka tersenyum ketika kita melintasi pagar menuju taman.
Suasana menjelang malam yang sempurna, tetapi segala sesuatu yang terasa indah saat itu ternyata tidak berulang. Keesokan harinya kamu mengajakku pergi ke tempat yang sama—dan aku pun selalu memberikan waktuku untuk mengantarmu melihat fase pergeseran matahari itu—Alangkah terkejutnya kita melihat puluhan orang bertumpuk di taman tersebut.
”Mengapa tiba-tiba banyak orang?” tanyaku heran. Aku menduga, gara-gara kita menikmati senja kemarin, pemilik rumah itu lalu mengomersialkan taman yang dirawatnya, tetapi aku tidak melihat loket pembayaran di pintu masuk atau karcis parkir.
”Entahlah, padahal aku hanya memberitahu beberapa sahabatku di kampus bahwa ada senja di daerah Ewood.”
Dugaanku meleset. Rupanya kabar ini menyebar karena kamu, di antara puluhan orang itu aku memang sempat melihat beberapa gelintir kawan-kawanmu. Kalian bercakap-cakap, meninggalkanku untuk sementara.
”Bagus sekali ya! Ayo dipotret!”
”Direkam saja!”
Kebanyakan dari mereka hadir bersama kekasihnya, tetapi ada juga yang membawa anak-anak kecil, membiarkannya berlarian di jalanan penuh kerikil, mendekati sepasang angsa di danau, bermain air yang jernih dengan pantulan cahaya senja.
”Padahal aku ingin menunjukkan senja ini spesial hanya untukmu.” Aku sedikit berbisik ketika kamu sudah berada di dekatku.
”Aku juga tidak menyangka akan banyak orang datang ke sini. Tetapi, setidaknya ini bukti bahwa mereka masih mau untuk menikmati pemandangan senja. Ya, kan?”
Kamu menatapku dengan tersenyum, wajah putihmu yang teduh itu membuatku urung untuk kecewa. Walaupun sepertinya kamu membaca gurat kekecewaan di wajahku yang murung.
”Kalau begitu aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku, sekali lagi. Sesuatu yang spesial, dan aku yakin tak seorang pun bisa menirunya,” kamu berkata tiba-tiba.
”Apa itu?”
”Menjadi senja.”

TIGA

Bagaimana caranya menjadi senja. Apakah harus mengikuti burung-burung yang terbang ke arah terbenamnya matahari di titik cakrawala sambil memakai baju merah keemasan? Bagaimana caranya? Kalau saja aku bisa bertanya kepada penyair dan penulis cerita yang suka membawa obyek senja, mungkin mereka tahu, mungkin mereka pernah beberapa kali menjadi senja sehingga senja selalu hidup dalam tulisan mereka. Tetapi, itu tidak mungkin.
”Kamu yakin ingin aku menjadi senja?”
”Tentu, aku yakin kamu dapat melakukannya, dan mereka di taman itu tak akan bisa menirunya.”
Aku tertegun, otakku berputar keras. Tidak mungkin aku bertanya kepada kawan-kawan geniusku di kampus, pasti mereka semua menertawakanku. Pertanyaan paling konyol yang kembali keluar dari mulut seseorang yang sebenarnya tengah jatuh cinta pada taraf akut.
”Kalau berbuat untuk wanita yang realistislah, jangan sampai gila begitu.”
”Lihat saja, aku pasti bisa memenuhinya. Lihat saja.”
Pasti ada caranya, setidaknya, harus ada. Di dunia ini ketidakmungkinan sudah hampir punah, segala sesuatu bisa dilakukan walaupun hakikatnya semu dan jauh melenceng dari kenyataan. Dan benar, kan? Beberapa jam menyendiri dalam kamar, akhirnya kulihat sesuatu yang berkilat itu, sesuatu yang memantulkan cahaya putih dari sinar matahari yang tak terhalang gorden jendela. Ya! Aku mendapatkannya, akhirnya aku mendapatkan cara untuk memenuhi keinginanmu, keinginan yang tak seorang pun bisa menirunya.
”Besok aku adalah senja,” gumamku. Aku tersenyum puas.

EMPAT

Angin sore menerpa deretan pohon cemara, beberapa bangku masih tak berpenghuni, kamu datang jauh lebih awal. Belum ada siapa pun di taman Ewood. Hanya sepasang angsa itu tengah memainkan ekornya membentuk riak-riak kecil. Tetapi, ikan-ikan tak pernah takut dengan keduanya. Mereka seperti bersimbiosis mutualisme, saling menyiratkan kesempurnaan pemandangan taman Ewood. Beberapa daun kering jatuh ke pangkuanmu, sebagian jatuh ke rambutmu yang basah menjuntai melewati bahumu, terbalut kaus putih dengan syal merah muda.
”Datanglah nanti ke taman Ewood, aku akan menjadi senja.” Kamu membaca kembali pesan singkat yang kukirimkan pagi tadi. Lalu tersenyum. Kamu pasti bangga denganku.
”Bagaimana caranya?”
”Datang saja, nikmati cahaya merah setelah matahari terbenam, kamu harus yakin bahwa senja itu adalah aku.”
”Jadi, kamu tidak akan hadir menikmati senja bersamaku?”
”Tentu tidak. Bukankah yang menjadi senja adalah aku sendiri?”
”Bagaimana aku bisa tahu kalau itu kamu?”
”Aku akan membuat senja itu sedikit berbeda.”
Senja masih akan hadir sekitar satu jam lagi, beberapa pasangan telah tiba dan mencari tempatnya masing-masing, semakin banyak orang berdatangan, jauh lebih banyak dari sebelumnya, bahkan ada yang membawa kanvas untuk melukis senja. Mereka antusias sekali menunggu. Taman Ewood seperti menjadi tempat rekreasi dadakan, yang gratis. Dan tibalah saatnya, matahari perlahan membenamkan tubuhnya di pelukan cakrawala.
Cahaya senja itu muncul, membentang merah lebih pekat, tidak bercampur dengan warna kuning keemasan. Memenuhi garis langit. Orang-orang berdecak kagum.
”Hei, lihat, warnanya agak berbeda dari kemarin. Sepertinya lebih indah. Mungkin ini fenomena alam.”
”Cepat dipotret! Diabadikan!”
”Direkam saja sayangku. Mmmuach!” sepasang muda-mudi berciuman di depan senja yang spesial kuhadirkan untukmu. Sementara kulihat kamu terdiam dengan pemandangan senja itu, mungkin kamu sedang membandingkannya dengan senja yang kemarin atau senja yang biasa kamu lihat di desa Yorkshire.
”Aku sudah melihat senja. Senja yang benar-benar berbeda.” Kamu mengirimkan pesan singkat untukku. Senyummu mengambang, tidak ada yang tahu bahwa senja itu adalah aku kecuali kamu.
”Bagaimana caranya? Beritahu aku. Biar besok giliran aku yang menjadi senja untukmu.” Pesan singkat yang lain kamu kirimkan lagi.
Orang-orang masih menatap dengan kagumnya, mereka mengambil kamera dan memotret setiap sudut senja itu. Ada pula yang benar-benar merekamnya, meminta pasangan bergaya di sepanjang taman yang berlatar warna merah.
Senja itu semakin lengkap ketika burung-burung menuju ke arahnya, pemandangan yang nyaris sempurna, puluhan kamera mencipratkan cahaya, seperti suatu pertunjukan di atas panggung, orang-orang tak henti-hentinya melontarkan kalimat kekaguman, semakin ramai saja, seolah penduduk kota Blackburn semuanya tumpah di taman Ewood, hingga akhirnya beberapa dari mereka sadar, ada sekelompok burung hitam yang tak seharusnya ada di situ. Kamu melihat handphone, belum ada pesan balasan dariku.

LIMA

Wanita-wanita menjerit, sebagian memeluk pasangannya, sebagian lagi menutup matanya dan menangis, teriakan menggema di taman Ewood, ”Itu bukan senja! Itu darah!”
(Yogyakarta, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar