DROPDOWN

Senin, 09 Maret 2015

SMKN 1 Mandiraja dilihat dari segi geografis terletak pada tanah yang berundak,menempati tanah yang dahulunya adalah kebun papaya dengan minim resapan air. Bertepatan hari Guru yang ke 69 tahun 2014 PGRI menunjuk SMKN 1 Mandiraja sebagai Tuan rumah peringatan hari Guru tingkat Kabupaten sekaligus pencanangan gerakan Siswa menanam pohon. Momentum ini merupakan kesempatan baik bagi siswa SMKN 1 Mandiraja sebagai salah satu unit Sekolah baru untuk menata lingkungannya.Dalam gerakan Siswa menanam tersebut dilakukan penanaman sekitar 300 tanaman dari berbagai jenis,mulai dari buah-buahan,tanaman peneduh,sampai dengan kayu keras di sekeliling SMKN 1 Mandiraja. Disisi lain kegiatan ini mengajarka kepada Siswa untuk gemar menanam pohon menuju penghijauan dan pemeliharaan tanah di wilayah Kabupaten Banjarnegara yang notabenenya adalah Daerah rawan longsor seperti yang terjadi di Dusun Jemblung Desa Sawangan Kabupaten Karangkobar Pada Jum’at petang 12 Desember yang menewaskan 100 lebih penduduknya. Kegiatan hari guru yang mencanangkan Penghijauan dihadiri oleh Bupati Banjarnegara Beserta jajaran Forkompinda dan Kepala-Kepala SKPD dilingkungan Banjarnegara.Dalam Pidatonnya Bupati Banjarnegara Bapak Sutedjo Slamet Utomo menyampaikan agar gerakan gemar menanam ini dapat menjadi budaya dan sebagai salah satu hal yang baik untuk diwariskan ke Anak Cucu.Di Akhir pidatonya beliau mengajak kepada seluruh peserta untuk bersama-sama mendoakan korban tanah longsor Di Desa Sawangan Kecamatan karang Kobar Tersebut. Kegiatan Gerakan menanam ini disambut baik oleh SMKN 1 Mandiraja untuk mengenalkan Potensinya kepada Masyarakat dengan menunjukan Hasil Karya Siswa pada Stand-Stand pameran diantaranya Stand Unit Produksi telor asin,pembuatan kesed,sapu,trails,batik,pembayaran online dan pembibitan.

Minggu, 02 Maret 2014

Cerpen Agus Noor ,"Enam Cerita".

Enam Cerita

Cerpen Agus Noor (Koran Tempo, 23 Februari 2014)
Enam Cerita ilustrasi Edward Richardo
SENJA DI MATA YANG BUTA
BILA ada yang menceritakan padamu senja terindah yang pernah dilihatnya, dengan langit yang selalu kemerahan, dia pasti belum datang ke tempat kami. Senja terindah hanya ada di sini. Senja yang kuning keemasan, seolah madu lembut dan bening yang ditumpahkan ke langit hingga segala yang mengapung di permukaan air menjadi tampak kuning berkilauan. Senja yang tak hanya bening, tapi begitu hening. Selembar daun yang jatuh tak akan mengusik keheningannya. Angin sejuk selalu membiarkan daun-daun kelapa setenang bayang-bayang. 
Waname mengatakan pada saya, bahkan Tuhan pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri. Sejak kanak-kanak kami suka duduk berdua menikmati senja. “Keindahan tak pernah abadi,” kata Waname. “Ketidakabadiannya itulah yang membuatnya begitu berharga. Tataplah senja itu, Tikami. Rekam baik-baik, dan simpan dalam matamu.” Waname suka sekali berenang. Suara kecipak airnya terdengar begitu jerning hingga ke kejauhan teluk. Suatu hari Waname bersampan, dan tak pernah kembali. Padahal seminggu lagi ia akan melamarku dengan 50 ekor babi.
Di gereja, penduduk Otikara mendoakan arwahnya sembari berbisik-bisik

Cerpen Seno Gumira Ajidarma,"Mayat Yang Mengambang Di Danau".




Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.
Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.

Cerpen Benny Arnas,"Bulan Celurit Api".

Bulan Celurit Api

Cerpen Benny Arnas (Suara Merdeka, 7 Maret 2010)

MAK MUNA duduk di tubir jenjang. Menengadah ke kelam raya. Bulan berubah menjadi celurit api. Lagaknya mengajak pucuk Limas berseteru. Mak Muna risau. Itu adalah lukisan masa hadapan yang tak berbingkai. Apabila diutarakannya tafsir tentang “peperangan” bulan sabit dan atap rumah pusaka itu, pastilah sesiapa menolak bersetuju.
Firasatnya, kampung akan petaka. Ah, Mak Muna mati-matian menindih-redam ramalan yang menyembul-nyalang itu. Cukuplah praduganya terdahulu yang melesat bak bumerang. Menancap-menusuk kehidupannya.
Ia beringsut mengganti tengkuluk —semacam penutup kepala. Pekan lalu —Mak Muna lupa persisnya, ia diundang Salim (Ai senangnya, diundang, oi!), ketua RT, untuk berkumpul di laman Haji Makmun bakda Isa malam ini. Iyut, tetangga yang ditunggu-tunggunya, tak jua menjemputnya. Mungkin ada perkara syarĂ­i yang menghalangi, atau… Iyut sibuk tengah menemani sanak-sanaknya dari kota; muda-mudi yang pasti beragam ulahnya….
***

Cerpen Sungging Raga ,"Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus…".




”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”

 

Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.”

Cerpen Sungging Raga ,"Biografi Kunang-kunang".




Pada malam hari, ibumu akan menjadi kunang-kunang, terbang ke hamparan bunga-bunga, ke sepanjang jalan, menelusuri remang cahaya, hinggap di daun-daun, berteduh dari embun, lalu terbang lagi, ke atap rumah, ke tiang listrik, ke bawah jembatan. Ibumu menjadi kunang-kunang sepanjang malam, mencari kamu yang sudah lama hilang.
”Di mana kamu, anakku? Di mana?”
Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ibumu—kunang-kunang itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah,